WHAT'S NEW?
Loading...

Suara Polri: membentuk hukum dan masyarakat cerdas





Selasa 15 November, Bareskrim menyimpulkan proses hukum kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau biasa kita sapa Ahok, dari status penyelidikan menjadi penyidikan setelah gelar perkara terbuka terbatas di Mabes Polri. Ahok disangkakan Pasal 156a KUHP juncto Pasal 28 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Wacana tersebut berkembang setelah aksi 4 november lalu, dengan sebuah wacana besar tentang dugaan penistaan agama oleh Ahok. Perkembangan tersebut bukanlah berdasar ketakutan atas aksi yang lalu, melainkan adalah suara tegas polri atas fakta hukum serta undang-udang. Bukan pula atas desakan atau tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa tentunya.

Suara yang dilontarkan polri cukup cerdas dan berisiko, sebab adanya pihak pro dan kontra. Inilah yang menjadi nilai plus untuk penegak hukum di Indonesia. Dengan tidak adanya kecenderungan memihak dan hanya menjalankan hukum yang berlaku sesuai fakta, adalah jalan terbaik yang polri lakukan untuk menunjukan tajinya sebagai salah satu pihak penegak hukum.

Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menjadi bukti bahwa pemerintah menyuarakan penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian  suara tersebut berlaku untuk  semua pihak agar menghormati keputusan dan proses hukum terhadap Ahok tersebut. Dengan begitu kompak sudah semua yang berwenang atas penegakan hukum yang berada di Indonesia.
 
Kemudian, masyarakatlah yang harus menjunjung tinggi ke- Bhinneka Tungga Ika-an yang bertujuan menghormati, mempercayai, dan menjaga kestabilan keamanan Indonesia. Sebab perbedaanlah yang mempersatukan negara ini. Entah perbedaan agama, ras, suku, dan bahkan pandangan politik selama berlabel warga negara Indonesia sudah sepatutnya menjunjung tinggi kebhinekaan tersebut.

Ditambah peringatan keras dari Polri yang akan menindak para pelanggar hukum yang melakukan kegaduhan. Jadi adanya hasutan-hasutan, provokasi untuk laku anarkis yang inkonstitusional dan melanggar hukum tidak perlu diikuti. Sebab pihak-pihak yang mendistorsi jalannya hukum pun akan diberlakukan hukum yang sesuai pula.

Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang cerdas, baik dalam berpikir dan berprilaku. Dengan cara itulah sebaik-baiknya apresiasi yang masyarakat berikan untuk bangsa ini.  


Era Baru Demokrasi Indonesia: cerminan unjuk rasa ala pancasila


4 November 2016 adalah tanggal yang menjadi wacana khusus masyarakat kota Jakarta bahkan berkembang menjadi wacana Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut didasari oleh demokrasi yang dilakukan di Istana Negara dengan upaya proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama segera dilakukan.

Unjuk rasa kali ini cukup menarik perhatian sebab sekitar 200 ribu orang bergerak dari Masjid Istiqlal, kantor DPR-MPR, dan Istana Negara. Setiap Negara yang bercorak demokrasi tentunya memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan argumentasi secara massal, misalnya melalui unjuk rasa.

 Sebelum tinjauan lebih lanjut, saya akan menunjukan data yang berada dalam sebuah berita online sebagai rujukan pembahasan.
The November 4 (411) protest was one remarkable history of Indonesian democracy. It taught Indonesians many lessons, but the highlight is how the government has been maturing itself in responding a protest.

It was a surprise, and definitely a smart move, of the Police to use much more cooperative and humanist approach to deal with the protesters by beginning their security routines with praying and dhikr. The way the security officials handle the protesters must be highly appreciated.

Their effort to resist repressive actions, during the day, especially was a breakthrough. It was something new in our democracy. This was the key of the success of the government in 411 rally.

Despite some clashes between the protesters and the police, the overall protest has been very peaceful. What happened on November 4th was maybe beyond what the government may expect. The violence level was relatively low with small number of casualties.

One of the protesters dead because his previous asthma history, and not related to any attack or accidental shooting. What happened in Penjaringan area was a criminal activity done by rascals, not protesters, but again the government has shown its readiness to handle such unexpected situation not to spread in other areas.

In fact, it was actually not related to the protests. It was done by some irresponsible people who take advantage of the protest. Yet, the government could promptly took needed action to bring back situation to normal in relatively short time.

All in all, the government has done a marvellous job in dealing with this protest. What was feared was not occurring and all situation could be handled very well and wisely. We hope that this will be a new era of Indonesian democracy, which is more mature and humanist. Bravo!”

Ada 3 poin penting dalam teks berbahasa Inggris tersebut. Pertama demonstran yang akan melakukan aksi tidak melupakan kewajiban mereka sebagai umat beragama Islam karena saat itu memang bertepatan dengan shalat jum’at. Di pihak pengamanan, kepolisian memulainya dengan ritual shalat dan dzikir bersama. Kedua hal tersebut menunjukan bahwa mereka masih memiliki identitas keagamaan dan sekaligus menjadi contoh yang baik sebelum melakukan hal-hal besar. Kemudian sistem demokrasi kita tetap berlandaskan sila pertama yaitu, Ketuhanan yang maha esa.

Poin berikutnya adalah bentrokan antara demonstran dan polisi tidak banyak menelan korban dapat dikatakan rendah kekerasan. Meskipun ada seorang demonstran yang meninggal dunia di lokasi unjuk rasa, namun setelah diselidiki demonstran tersebut memiliki riwayat gangguan pernapasan atau asma. Hal tersebut terjadi bukan atas dasar kekerasan. Ini menunjukan kemajuan unjuk rasa yang rendah kekerasan.

Yang terakhir adalah efektifitas waktu unjuk rasa yang ditargetkan berlangsung dari siang hingga 18:00 WIB. Ketertiban pihak demonstranlah yang harus diacungi jempol karena tidak melanggar aturan. Hal tersebut menjadi lebih efektif sebab tidak akan mengganggu aktivitas masyarakat lainnya.

Ketiga poin tersebut hemat saya dapat membuka mata semua pihak. Unjuk rasa selanjutnya mungkin akan jauh lebih tertib, aman, dan lebih mencerminkan sila ke lima, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hal tersebut akan terjadi jika kita menganggap demokrasi adalah serupa bentuk dari musyawarah.


Kemudian yang harus dihindari dari demonstran dan kepolisian adalah pihak yang mendistorsi jalannya unjuk rasa. Pihak tersebut tentunya bukan demonstran, lebih cenderung menjadi pihak yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan kegiatan unjuk rasa.  Dengan begitu akan terciptanya era baru demokrasi Indonesia yang berlandaskan pancasila.