WHAT'S NEW?
Loading...

Doctor Tanpa Ijazah




Setiap ihwal yang ingin membicrakan satra secara historis, pastilah berhadapan dengan pertanyaan mendasar  namun seolah tak ada ujungnya. Semisal “kapankah satra Indonesia lahir?” Atau “siapakah tokoh pertama dalam kesusastraan Indonesia?”. Hal semacam  itulah yang akan selalu ditemui oleh peneliti ataupun kritikus pada umumnya. Hal semacam itulah yang sering diangkat ke permukaan oleh seorang Doctor Tanpa Ijazah (Ajip Rosidi). Ajip sering sekali mengangkat pembahasan semacam itu dalam setiap buku yang ditulisnya. Ia bukannya bermaksud merumuskan kelahiran sastra Indonesia, justru ia sendiri belum tahuakan kepastiannya dan hanya coba mengirasaja.
            Ajip adalah anak sulung dari pasangan Dayim Sutawiria dan Hj. Sitti Konaah. Ia terlahir di tanah sunda, yang memang lekat dengan seni dan kebudyaan. Dari sejak kecil pun ia memang sudah akrab dengan hal semacam itu. Tak heran jika ia bisa jadi seperti sekarang ini. Ajip pernah mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat 6 tahun di Jatiwangi (1950), Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956, tidak tamat). Selanjutnya otodidak.
            Walau tidak tamat SMA, jangan ditanya kiprahnya. Tahun 1967 Ajip diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ajip juga sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Bahkan tahun 1981 hingga 2003, Ajip diangkat sebagai visiting professor dan guru besar luar biasa   di beberapa perguruan tinggi di Jepang. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-73, Senin (31/1) Ajip Rosidi mendapat anugerah gelar honoris causa dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran sebagai tokoh yang berpengaruh dalam ilmu budaya dan sastrawan Sunda. Tim promotor Ajip untuk anugerah ini adalah Prof. Dr, Ir Ganjar Kurnia, D.E.A., (Rektor Unpad) , Prof. Dr. H.Dadang Suganda, M.Hum., dan Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum. itulah mengapa Ajip Rosidi sering dijuluki Doctor Tanpa Ijazah.
            Dengan kenyataan yang ada tersebut Ajip membangkitkan semangat dan kepercayaan diri Urang Sunda serta menunjukkan dengan kerja keras, keuletan dan semangat pantang menyerah pasti semua jerih payah akan menunjukkan hasilnya. Walau sebetulnya himbauannya tidak sekedar untuk Urang Sunda, bisa diterima semua Anak Bangsa Indonesia yang sering minder dengan keIndonesiaannya atau sebaliknya justru abai dengan keIndonesiaannya.
Ketidakpedulian yang paling disorot Ajip tentu saja mengenai bahasa Indonesia. Dalam salah satu kolom Stilistika, Ajip menulis tentang kesungguhan pemerintah Malaysia mengembangkan dan mempromosikan bahasa Melayu. Padahal seperti kita ketahui di Malaysia terdapat banyak bahasa resmi selain bahasa Malaysia yaitu bahasa Cina, Inggris dan Tamil. Akan tetapi yang dimajukan dengan sungguh-sungguh adalah bahasa Malaysia. Menurutnya juga, seharusnya Indonesia lebih peduli dengan hal semacam itu, karena memang Indonesialah yang paling banya memiliki bahasa komunikasi.
Keproduktifan Ajip dalam urusan akademis sudah terlihat sejak ia masih remaja. Meski memang kenyataannya ia tidak pernah lulus SMA. Itu dibuktikan dengan Buku pertamanya, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya seratusan judul. Ia mulai mengumumkan karya sastra tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Sejak 1973 sampai 1979 ia terus-menerus mewakili Indonesia dalam sidang-sidang perencanaan Program Penerbitan Bersama Asia (Asian Co- Publication Programme) yang diselenggarakan setiap tahun oleh ACCU di Tokyo. Dua kali duduk sebagai anggota Dewan Redaksi (Editorial Board) program itu yang mengusahakan penerbitan bacaan kanak-kanak dan remaja yang diambil dari karya dalam bahasa negara-negara Asia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa negara-negara peserta. Proyek ini sukses sekali, sehingga sekarang pesertanya meliputi juga negara-negara Pasifik, dan buku-buku hasil program ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Arab.

Untuk saat ini ia bukan hanya aktif menjadi penulis. Ajip juga masih sering mengisi mata kuliah sastra di beberapa universitas di Jepang sebagai dosen tamu. Ia juga masih sering menjadi pembicara dalam event-event sastra dan kebudayaan.

Cerita dari Tanah Condet


“Pertahankan tanah Betawi sampai akhir hayat.”
“Allahuakbar!!”

Pesan tersebut merupakan pesan terakir dari Entong Gendut saat tertembak oleh penjajah, ketika melakukan penyerangan ke markas Belanda. Perlawanannya dimulai ketika penjajah Belanda lewat Jendral Von Imhoff ingin memperluas jajahan di daerah Condet, dengan cara menaikkan harga sewa tanah setinggi-tingginya.

Komedi Betawi yang berjudul “Entong Gendut dari Condet” ini disutradarai sekaligus ditulis oleh Syaiful Amri. Pertunjukan yang dilakukan di parkiran Taman Ismail Marzuki (TIM), menampilkan Hj. Nori, Qubil, Rinni SBB, Edi Oglek, Riyanto AR, Rudi Sipit, Rita Hamzah, Pijae Abnon, Jaya Noin, Madih, Fajar, Bachtiar, Marong, Kimung, Jumat (28/6).

Pertunjukan diawali dengan silat Betawi, salah satunya cingkrik dan beksi. Selain itu, juga diselingi nyanyian yang dibawakan oleh Neneng Fitri. Perpaduan antara menyanyi, silat dan lenong tersebut memberikan sajian yang jenaka, tak ayal penonton dibuat tertawa oleh para pemain.

Kematian Entong dimulai ketika Jendral Von Imhoff mengadakan pesta di markas Belanda, dimulailah penyerangan Entong Gendut dengan teman-temannya. Ia berhasil memukul mundur penjajah Belanda, namun dalam penyerangan ia tertembak oleh penjajah yang dikomandani Malik.

Kematian Entong Gendut oleh penjajah, mengakhiri komedi Betawi tersebut. Pertunjukan yang dilakukan kurang lebih sekitar dua jam ini menarik perhatian penonton. Penonton yang hadir bukan saja memenuhi tempat duduk yang disediakan panitia, tetapi juga duduk di depan panggung secara lesehan.

Salah satu penonton yang berada di depan panggung, Fajar Setio Utomo menjelaskan, pertunjukan Komedi Betawi tersebut sangat menarik, bela diri dan musik gambang kromong yang disuguhkan merupakan jenis hiburan yang menarik perhatian karena sangat  jarang dilihatnya.
Syaiful Amri menjelaskan, “Sudah sepuluh tahun kita mengkombinasikan cerita tentang toponimi, nama-nama jalan yang ada di Jakarta. Salah satunya Condet, tentang bagaimana jawara Betawi, Entong Gendut mempertahankan tanah Betawi,” ujarnya (28/6).


Pertunjukan komedi Betawi yang sudah berjalan sekitar sepuluh tahun, membuat proses perpaduan tersebut tidak terlalu sulit dilakukan. Ia menjelaskan penyatuan tersebut bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Betawi. “Jangan sampai anak muda belajar bela diri luar, dan nggak mau belajar silat Betawi,” tambahnya.


Adi Nugroho