Gie: Cermin yang tak terpakai?
Jika
dalam fiksi memiliki tokoh maka Gie adalah tokoh protagonis, seakan penuh
dengan kebencian namun kebencian itu menuju pada kebenaran atau kebaikan. Dapat
dikatakan kritis mengalir dalam darahnya, tercermin pada ucapannya “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia
mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya,
selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang cerdas. Mereka yang berani
menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak
menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”. Hal ini
sangat menunjukan bahwa peristiwa kecil sangat ia perhatikan.
Dalam beberapa
kasus Gie pun sangat keritis
seputar mahasiswa, dengan nada getir, Gie menulis: Hanya mereka yang berani
menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak
berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh
sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong
Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran
supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal
wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu
mahasiswa”.
Dalam
mencari kebenaran ia rela malu demi suatu kebanaran seperti uangkapnya “ Bagi saya KEBENARAN biarpun
bagaimana sakitnya lebih baik dari pada kemunafikan dan kita tak usah merasa malu
dengan kekurangan-kekurangan kita”. Hal ini yang mewakili sifatnya bahwa
walaupun seberapa sakit atau susah kebenaran harus diperjuangkan.
Tak tertinggal, sifat konsisten pun ia miliki. Arief Budiman sang kakak pernah mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Tak tertinggal, sifat konsisten pun ia miliki. Arief Budiman sang kakak pernah mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Sifat-sifat yang dimilikinya
seharusnya menjadi cermin untuk mahasiswa sebab harga minimal menjadi seorang
mahasiswa adalah kritis. Penulis menyadari kapasitas dirinya sebagai seorang
mahasiswa belum bercermin pada sosok Gie.
JIka Gie menjadi tokoh dalam fiksi
sepertinya tidak dapat ditampik sebab ia begitu sempurna dengan ideologinya
sebagai seorang mahasiswa. Namun kenyataannya memang telah lahir sosok
keturunan tionghoa yang begitu ideal sebagai seorang mahasiswa.
(untuk penulis sebagai seorang mahasiswa)