WHAT'S NEW?
Loading...

PANCASILA?


Laut merah seakan melambangkan sekaligus menjadi  saksi bisu kemerdekaan bagi budak-budak di mesir pada zaman kekuasaan Firaun. Di Bibir Laut Merah karya M. Shoim Anwar mengingatkan kita kembali pada kejadian perbudakan zaman itu. Perbudakan dan ke tidak adilan dalam cerita berangkat dari perbudakan yang berada di Indonesia namun berlatar di tepi Laut Merah. Hal ini akan sangat menarik jika kita hubungkan pada zaman Musa As. Musa menghentikan perbudakan di Laut merah dengan menenggelamkan Firaun beserta para pengikutnya.
Sulastri tokoh utama dalam cerita sedang menikmati segala yang terhampar di tepi Laut Merah dengan segala harapan yang ada dibenaknya. Sulastri seakan bertemu dan meminta bantuan pada Musa di tepi Laut Merah berharap ia dibebaskan pula sebagaimana kaumnya. Sulastri bercerita tentang negeri dan suaminya, ia merasa haknya sebagai manusia tak pernah terpenuhi. Musa tak membantunya. Pada fragmen ini pembaca disuguhkan antiklimaks  dengan pertanyaan “mengapa Musa? Kemana pemimpin negerinya? dan mengapa tak meminta pada tuhan?”.
Maraknya perbudakan di Indonesia seperti TKI ilegal, Buruh yang tak di beri upah dan sebagainya terwakili oleh satu tokoh Sulastri. Bukan hanya di tahun 2011, bahkan sampai sekarang perbudakan memang menjadi hal yang lumrah di Indonesia, dan atas dasar itulah yang memungkinkan pengarang memilih tema tersebut. Dengan demikian pembaca disuguhkan karya sastra lintas zaman, bahkan dimensi. Penguatan deskipsi ditampilkan dengan dialog tokoh hal ini menunjukan  salah satu proses kreatif Shoim.

Sepertinya pengarang memang menginginkan pemaknaan yang mendalam pada fragmen di atas, dan mungkin memang itulah salah satu latar belakang ia menulis karya semacam itu. Berangkat dari keresahanya membaca situasi atau keadaan sosial di tempat ia berada. Jika kita lihat dari pertanyaan di atas sepertinya pegarang juga berdialog dengan dirinya, haruskah Musa datang ke Indonesia? Atau mungkin, Mengapa tak ada sosok Musa di Indonesia?. Jika memang benar pengarang berdialog dengan dirinya, maka jelas impresi pengarang mengacu atau mempertanyakan sila kedua dan kelima.



Akbar Fatriyana