Review monolog sangkuni I: Nafsu Dendam Si Licik Kembar Tiga
“Selama Sangkuni masih hidup, dunia tidak akan
tenteram. Hidup tanpa kelicikan dan kebohongan adalah semu!” geram Sangkuni sambil
menghilang dalam gelap. Itulah sepetik monolog Sangkuni I, yang diperankan KRMH
Kusumobudoyo dalam pentas bertajuk Kebar Eram Kawuryan (Trigantalpati).
Pergelaran Agung Wayang Orang yang
digelar di Dewan Kesenian Jakarta (24/5) ini me-ngangkat kisah tentang dendam
Sangkuni, atau Trigantalpati, atau Harya Suman yang terendam dalam nafsunya
akan Dewi Kunthi. Dengan bantuan Bathari Durga sang Dewi Malapetaka, ia pun
menjelma raga, cipta dan karsa dalam tiga sosok.
Dengan keberadaan wujudnya yang menjadi
tiga ini, tak kurang dari enam keluarga kerajaan yang ia adu demi memuaskan
hasrat, mendapatkan Dewi Kunthi. Kemudian terciptalah prahara antara Raja
Mandura Prabu Baladewa dengan Wrekudara, Raja Mandaraka dengan Penguasa
Lesanpura Setyajid, serta Buriswara dan Setyaki.
Tak hanya itu, Sankuni pun menghembuskan
dendam pada Prabu Kridakawaca dari Kerajaan Hima-Himataka untuk menculik Dewi
Kunthi. Sebagai akibatnya, sang prabu menenculik
Dewi Kunthi, yang menjadi spirit bagi para pandhawa demi tujuannya membalaskan
dendam pada Arjuna. Dengan demikian, harapnya, pandhawa dapat dilumpuhkan.
Memasuki tengah cerita, dikisahkan
cantrik dan mentrik sedang bersenda gurau khas Jawa dengan para punakawan
Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, memecah suasana tegang yang tersisa dari
lakon Sangkuni. Namun banyolan itu tak berlangsung lama, karena Pancawala,
Dewi Pancawati dan Abimanyu datang membawa kabar bahwa Lingkungan Amerta tak
lagi aman, dan meminta punakawan untuk pulang.
Di tengah hutan, mereka dihadang para
raksasa berambut keri-ting hingga betis dan bercat wajah merah menyala. Namun,
dengan kekuatan pusaka Pancawala, para raksasa binasa tak bersisa.
Gambang pun berdenting kencang
meningkahi lincah tangan pengrawit. Dari balik tirai kelam, Prabu Baladewa
muncul bersama Wrekudara melakonkan tarian konflik dengan Prabu Kridakawaca,
Patih Singanebah, dan Patih Bandhilori. Atas pengakuan Prabu Kridakawaca,
terkuaklah bahwa prahara yang menimpa keluarga Amarta, Mandura, Mandaraka, dan
Lesanpura itu ternyata didalangi Sangkuni.
Sementara itu, di taman Sari Kepatihan
Plasajenar, Sangkuni I, II, dan III berusaha memperdaya Dewi Kunthi yang
berhasil ia culik. Beruntung, Pandhawa dan putranya segera datang bersama Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna, sehingga gagallah Sangkuni dalam melancarkan
dendamnya.
Pergelaran wayang yang dikemas dalam
bahasa Jawa ini ternyata tak hanya dinikmati orang dewasa, namun juga remaja.
Salah satunya Putri Nura, yang menyaksikan pementasan hingga selesai. Siswa
kelas SMA Al Azhar Jakarta ini mengaku , ia sendiri yang ingin menonton
pagelaran tersebut dan cukup mengerti kisah yang ditampilkan. “Ceritanya seru,
senang menontonnya,” ujarnya sambil menggurat lesung pipi.
Adapun menurut Irnanda Laksanawan
Wironegoro, ketua panitia, Pergelaran Agung Wa-yang yang diangkat Paguyuban
Kusuma Handrawina tidak untuk diteladani, namun lebih sebagai cermin hidup
untuk melakukan instropeksi bagi penontonnya.
Ditambahkannya,
pertunjukan ini memberi kebebasan seluas-luasnya kepada kita untuk memilih
tokoh mana yang hendak diteladani; apakah Bhima yang lugas dan jujur, Arjuna
yang tangguh, Kresna yang cendekia, Duryudana yang serakah, ataukah Sangkuni
yang licik dan culas?